twitter





  • Proyeksi AP/AP Axial
    • Posisi pasien : Pasien supine. Kaki difleksikan dan telapak kaki menghadap meja pemeriksaan.
    • Posisi obyek : Telapak kaki menempel pada kaset. Kaset horizontal diatas meja pemeriksaan.
    • FFD : 90 – 100 cm
    • CR :  
      • 1) 10º (ke arah os calcaneus), CP: Metatarsal ke-3  
      • 2) vertikal / tegak lurus kaset, CP: Metatarsal ke-3
    • Kriteria gambar : Tampak gambaran AP dari ossa metatarsal, ossa phalanx, ossa tarsal.

  • Proyeksi AP Oblique (lateral rotation)
    • Posisi pasien :  Pasien supine. Kaki difleksikan, telapak kaki menghadap meja pemeriksaan.
    • Posisi obyek : Kaki diendorotasikan membentuk sudut 30º terhadap kaset pada sisi lateral.
    • FFD : 90 – 100 cm
    • CR : Vertikal / tegak lurus kaset 
    • CP : Metatarsal ke-3 
    • Kriteria gambar : Tampak gambaran AP oblique pada daerah ossa phalanx, ossa metatarsal. Tampak persendian os cuneiform medial dan intermedial. 


  • Proyeksi AP Oblique (median rotation)
    • Posisi pasien : Pasien supine. Kaki difleksikan, telapak kaki menghadap meja pemeriksaan.
    • Posisi obyek : Kaki diendorotasikan membentuk sudut 30º terhadap kaset pada sisi medial.
    • FFD : 90 – 100 cm
    • CR : Vertikal / tegak lurus kaset 
    • CP : Metatarsal ke-3 
    • Kriteria gambar : Tampak gambaran AP oblique pada daerah ossa phalanx, ossa metatarsal. Tampak persendian os cuboideum dan os calcaneus serta daerah persendian os cuneiform lateral. 


  • Proyeksi PA Oblique (Medial Rotation)
    • Posisi Pasien : Pasien lateral recumbent dengan lutut difleksikan.
    • Posisi Obyek : Atur dorsal pedis pada pertengahan kaset horizontal. Rotasikan kearah medial sehingga sisi lateral pedis membentuk sudut 45º terhadap kaset.
    • FFD : 90 – 100 cm
    • CR : Vertikal / tegak lurus kaset
    • CP : Pertengahan kaki pada The base of Metatarsal V
    • Kriteria gambar : Tampak gambaran PA Oblique pedis. Tampak persendian didaerah ossa tarsalia.


  • Proyeksi PA Oblique (Methode Grashey)
    • Posisi pasien : Pasien prone, punggung/dorsal pedis menghadap meja pemeriksaan.
    • Posisi obyek : Bagian dorsal pedis menghadap kaset, kaset horizontal diatas meja pemeriksaan.
    1. Diendorotasikan sehingga sisi medial membentuk sudut 30º terhadap kaset.
    2. Dieksorotasikan sehingga sisi lateral membentuk sudut 20º terhadap kaset.
    • FFD : 90 – 100 cm
    • CR : Vertikal / tegak lurus kaset
    • CP : Pada The base of metatarsal III 
    • Kriteria gambar : 
    1. Tampak gambaran PA oblique pedis. Tampak persendian metatarsal I & II bebas dari superposisi, os cuneiform medialis bebas dari superposisi dan tampak os navicular.
    2. Tampak gambaran PA oblique pedis. Tampak corpus dari metatarsal III s/d V bebas dari superposisi. Tampak tuberositas metatarsal V dan os cuboideum.




 
  • Proyeksi Lateral (medio lateral)
    • Catatan : *proyeksi ini sering dilakukan karena relatif lebih nyaman untuk pasien
    • Posisi Pasien : Pasien supine / duduk diatas meja pemeriksaan. Kaki yang tidak diperiksa ditekuk ke belakang.
    • Posisi obyek : Atur pedis true lateral, sisi lateral pedis menempel pada kaset horizontal. Fleksikan pedis sehingga membentuk sudut 90º terhadap ossa cruris.
    • FFD : 90 – 100 cm
    • CR : Vertikal / tegak lurus kaset 
    • CP : Pada The base of Metatarsal III 
    • Kriteria gambar : Tampak gambaran lateral pedis dan daerah distal os tibia dan fibula.


  • Proyeksi Lateral (latero medial)
    • Posisi Pasien : Pasien supine / duduk diatas meja pemeriksaan. Kemudian untuk kenyamanan pasien, tubuh pasien diposiskan oblique (LPO/RPO).
    • Posisi obyek : Atur os pedis true lateral, sisi medial pedis menempel pada kaset horizontal. Fleksikan os pedis sehingga membentuk sudut 90º terhadap ossa cruris.
    • FFD : 90 – 100 cm 
    • CR : Vertikal / tegak lurus kaset 
    • CP : Pada The base of Metatarsal III 
    • Kriteria gambar : Tampak gambaran lateral (lateromedial) os pedis dan daerah distal os tibia dan fibula.


  • Proyeksi Lateral - (Lateromedial Methode Weight - Bearing)
    • Catatan : * Kaset diletakkan ditempat khusus untuk proyeksi metode weight bearing agar daerah longitudinal arch terproyeksi dalam film.
    • Posisi pasien : pasien diposisikan standing upright / berdiri tegak (erect pada bidang yang datar)
    • Posisi objek : kaset diletakkan diantara os.cruris dengan sisi depan kaset menghadap os.pedis yang akan difoto.
    • FFD : 90 -100 cm
    • CR : Horizontal, tegak lurus terhadap kaset
    • CP : Pada titik di atas the base of metatarsal III
    • Kriteria gambar : tampak gambaran lateromedial pedis dengan posisi weight-bearing, tampak struktur gambaran longitudinal arch os.pedis.
 
  • Proyeksi AP Axial (Methode Weight-Bearing)
    • Posisi Pasien : Pasien diposisikan standing-upright/berdiri tegak/erect.
    • Posisi Obyek : Letakkan kaset diatas lantai. Pasien berdiri diatas kaset. Letakkan marker sesuai dengan posisi kaki. Letakkan penggaris pengukur (skala) untuk mempermudah memposisikan kaki agar simetris.
    • FFD : 90 – 100 cm 
    • CR : 10º / 15º kearah tumit 
    • CP : pada The level of the base of Metatarsal III 
    • Kriteria gambar : Tampak gambaran AP Axial os pedis kanan dan kiri.


  • Proyeksi AP Axial (Weight Bearing Composite Methode) 
Posterior Angulation 15° kearah tumit.


    • Posisi pasien : Pasien standing-upright/erect.
    • Posisi obyek : Salah satu pedis pasien diletakkan diatas kaset horisontal.
    • CR : 15° kearah tumit. 
    • CP : The Base of Metatarsal III 
    • Kriteria gambar : Tampak gambaran pedis AP Axial. 
Anterior Angulation 25° kearah phalanx.
    • Posisi pasien : Pasien standing-upright /erect. 
    • Posisi obyek : Salah satu pedis pasien diletakkan diatas kaset horisontal.
    • CR : 25° kearah phalanx. 
    • CP : Permukaan posterior ankle.
    • Kriteria gambar: Tampak gambaran pedis AP Axial pada bagian posterior.


Sejarah Sinar X

Sinar X pertama kalinya ditemukan oleh fisikawan jerman yang bernama Wilhelm Roentgen Pada tahun 1895. Penemuan Sinar X diinspirasi dari hasil percobaan mengamati gerak elektron dari katoda ke anoda di dalam tabung kaca hampa udara yaitu diantaranya tabung katoda (J.J Thompson) dan foto listrik (Heinrich Hertz). Peristiwa terjadinya sinar-X diawali dari percobaan Heinrich Hertz pada tahun 1887 dengan menggunakan tabung hampa udara yang berisi katoda dan anoda yang dihubungkan dengan sumber listrik E



Penjelasan mengenai Sinar X

Sinar X merupakan pancaran gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang yang sangat pendek yaitu hanya 1/10.000 panjang gelombang visible light dan besar energinya yang berkisar 100 eV- 100 ekV. Panjang gelombang sinar X jika dinyatakan dalam satuan angstrom adalah 10^‐9 cm atau 0.1 Ao yang mana besar 1 angstrom(Ao)= 10^(-10 m)= 1/10.000.000.000 m). Sangat pendeknya panjang gelombang sinar X, memungkinkan sinar X dapat menembus benda‐benda /bagian tubuh yang dilaluinya.

Sinar X dapat dihasilkan oleh pembangkit sinar-X yaitu berupa tabung hampa udara yang di dalamnya terdapat filamen yang juga sebagai katoda dan terdapat komponen anoda. Jika filamen dipanaskan maka akan keluar elektron dan apabila antara katoda dan anoda diberi beda potensial yang tinggi, maka elektron‐elektron bermuatan negatif akan bergerak dipercepat menuju anoda yang bermuatan positif. Saat elektron-elektron bertumbukan secara tidak lenting dengan anoda, maka konsekwensinya adalah terjadi pancaran radiasi sinar-X yang melalui 2 proses yaitu interaksi collisional atau interaksi radiasi. Untuk memproduksi sinar X digunakan pesawat sinar X yang dalam mengahasilkan pencitraannya dibutuhkan instrumentasi-instrumentasi baku, diantaranya adalah sebagai berikut

1. Tabung sinar-X

Tabung sinar-X berisi filamen yang terbuat dari tungsten, sedangkan anoda terbuat dari logam Cu, Fe atau Ni.

2. Trafo Tegangan Tinggi

Trafo tegangan tinggi berperan sebagai penyuplai listrik tegangan tinggi yang berfungsi untuk mempercepat elektron di dalam tabung. Trafo tegangan melipatkan tegangan dari sumber bertegangan rendah 30 kV sampai ke tegangan tinggi 100 kV. Pada trafo tegangan tinggi diberi minyak sebagai media pendingin.

3. Instrumentasi kontrol

Sistem kontrol berfungsi mengatur parameter pada pengoperasian pesawat sinar-X. Instrumentasi kontrol terbagi menjadi 5 modul yaitu :

a. catu daya AC dari sumber PLN

b. modul pengatur tegangan (kV)

c. modul pengatur arus (mA)

d. Power supplay (Catu daya DC )

e. modul pengatur waktu pencitraan (S)

f. modul Kendali sistem



Pemanfaatan sinar X

Dalam kehidupan sehari-hari, pemanfaatan Sinar-X umumnya digunakan untuk mendiagnosis gambar medikal dan Kristalografi sinar-X pada bidang medis. Sinar X lebih familiar dengan sebutan sinar rontgen. Akan tetapi perlu diwaspadai pula bahwasanya selain bermanfaat, sinar X juga dapat menimbulkan bahaya


rhadiografer adalah pengambilang gambar dengan menggunakan sinar-x